PERKEMBANGAN DEMOKRASI DI INDONESIA
Perkembangan demokrasi PraOrde Baru
Semenjak
dikeluarkannya maklumat wakil presiden No. X 3 november 1945, yang menganjurkan
pembentukan partai-partai politik, perkembangan demokrasi dalam masa revolusi
dan demokrasi pearlementer dicirikan oleh distribusi kekuasaan yang khas.
Presiden Soekarno ditempatkan sebagai pemilik kekuasaan simbolik dan ceremonial,
sementara kekuasaan pemerintah yang riil dimiliki
oleh Perdana Menteri, Kabinet dan, Parlemen. Partai politik memainkan peranan
sentral dalam kehidupan politik dan proses pemerintahan. Kompetisi antar
kekuatan dan kepentingan politik mengalami masa keleluasaan yang terbesar
sepanjang sejarah Indonesia merdeka. Pergulatan politik ditandai oleh tarik
menarik antara partai di dalam lingkaran kekuasaan dengan kekuatan
politik di luar lingkungan kekuasaan, pihak kedua mncoba menarik pihak
pertama ke luar dari lingkungan kekuasaan.
Kegiatan partisipasi politik di masa ini
berjalan dengan hingar bingar, terutama melalui saluran partai politik yang
mengakomodasikan ideologi dan nilai primordialisme yang tumbuh di tengah
masyarakat, namun hanya melibatkan segelintir elit politik. Dalam masa ini yang
dikecewakan dari Soekarno adalah masalah presiden yang hanya sebagai simbolik
semata begitu juga peran militer.
Akhirnya massa ini mengalami kehancuran
setelah mengalami perpecahan antar elit dan antar partai politik di satu sisi,
serta di sisi lain akibat adanya sikap Soekarno dan militer mengenai
demokrasi yang dijalankan. Perpecahan antar elit politik ini diperparah dengan
konflik tersembunyi antar kekuatan parpol dengan Soekarno dan militer, serta
adanya ketidakmampuan setiap kabinet dalam merealisasikan
programnya dan mengatasi potensi perpecahan regional ini mengindikasikan krisis
integral dan stabilitas yang parah. Keadaan ini dimanfaatkan oleh
Soekarno untuk merealisasikan nasionalis ekonomi, dan diberlakukanya UU Darurat
pada tahun 1957, maka sebuah masa demokrasi terpimpin kini telah mulai.
Periode demokrasi terpimpin ini
secara dini dimulai dengan terbentuknya Zaken Kabinet pimpinan Ir. Juanda
pada 9 April 1957, dan menjadi tegas setelah Dekrit Presiden 5 Juli 1959.
Kekuasaan menjadi tersentral di tangan presiden, dan secra signifikan diimbangi
dengan peran PKI dan Angkatan Darat. Kekuatan-kekuatan Suprastruktur dan
infrastruktur politik dikendalikan secara hampir penuh oleh
presiden. Dengan ambisi yang besar PKI mulai menmperluas kekuatannya sehingga
terjadi kudeta oleh PKI yang akhirnya gagal di penghujung September 1965,
kemudian mulailah pada massa orde baru.
Dari uraian diatas dapat di simpulkan,
antara lain:
1. Stabilitas pemerintah dalam 20 tahun bereda
dalam kedaan memprihatinkan. Mengalami 25 pergantian kabinet, 20 kali
pergantian kekuasaan eksekutif dengan rata-rata satu kali pergantian setiap tahun.
2. Stabilitas politik sevara umum memprihatinkan.
Ditandai dengan kuantitas konflik politik yang amat tinggi. Konflik yang
bersifat ideologis dan primordial dalam masa 20 tahun pasca merdeka.
3. Krisis ekonomi. Dalam masa demokrasi parlementer
krisis dikarenakan karena kabinet tidak sempat untuk merealisasika program
ekonomi karena pergantian kekuasaan yang sering terjadi. Masa demokrasi
terpimpin mengalami krisis ekonomi karena kegandrungannya terhadap revolusi
serta urusan internasional sehingga kurangnya perhatian disektor ekonomi.
4. Perangkat kelembagaan yang memprihatinkan.
Ketidaksiapan aparatur pemerintah dalam proses politik menjaadikan birokrasi
tidak terurus.
1. Perkembangan Demokrasi Masa
Revolusi Kemerdekaan.
Implementasi demokrasi pada masa pemerintahan
revolusi kemerdekaan baru terbatas pada interaksi politik
diparlemen dan berfungsinya pers yang mendukung revolusi kemerdekaan. Meskipun
tidak banyak catatan sejarah yang menyangkut perkembangan demokrasi pada
periode ini, akan tetapi pada periode tersebut telah diletakkan hal-hal
mendasar. Pertama, pemberian hak-hak politik secara menyeluruh. Kedua, presiden
yang secara konstitusional ada kemungkinan untuk menjadi dictator. Ketiga,
dengan maklumat Wakil Presiden, maka dimungkinkan terbentuknya sejumlah partai
politik yang kemudian menjadi peletak dasar bagi system kepartaian di Indonesia
untuk masa-masa selanjutnya dalam sejarah kehidupan politik kita.
2. Perkembangan demokrasi parlementer
(1945-1959)
Periode kedua pemerintahan negara
Indonesia adalah tahun 1950 sampai 1959, dengan menggunakan UUD Sementara
(UUDS) sebagai landasan konstitusionalnya. Pada masa ini adalah masa kejayaan
demokrasi di Indonesia, karena hampir semua elemen demokrasi dapat ditemukan
dalam perwujudan kehidupan politik di Indonesia. Lembaga perwakilan rakyat atau
parlemen memainkan peranan yang sangat tinggi dalam proses politik yang
berjalan. Perwujudan kekuasaan parlemen ini diperlihatkan dengan adanya
sejumlah mosi tidak percaya kepad pihak pemerintah yang mengakibatkan
kabinet harus meletakkan jabatannya. Sejumlah kasus jatuhnya kabinet dalam
periode ini merupakan contoh konkret dari tingginya akuntabilitas
pemegang jabatan dan politisi. Ada hampir 40 partai yang terbentuk dengan
tingkat otonomi yang tinggi dalam proses rekruitmen baik pengurus, atau
pimpinan partainya maupun para pendukungnya.
Demokrasi parlementer gagal karena (1)
dominannya politik aliran, sehingga membawa konsekuensi terhadap pengelolaan
konflik; (2) basis sosial ekonomi yang masih sangat lemah;(3) persamaan
kepentingan antara presiden Soekarno dengan kalangan Angkatan Darat, yang
sama-sama tidak senang dengan proses politik yang berjalan.
3. Perkembangan Demokrasi Terpimpin
(1959-1965)
Sejak berakhirnya pemillihan umum 1955,
presiden Soekarno sudah menunjukkan gejala ketidaksenangannya kepada
partai-partai politik. Hal itu terjadi karena partai politik sangat orientasi
pada kepentingan ideologinya sendiri dan dan kurang memperhatikan kepentingan
politik nasional secara menyeluruh.disamping itu Soekarno melontarkan gagasan
bahwa demokrasi parlementer tidak sesuai dengan kepribadian bangsa indonesia
yang dijiwai oleh semangat kekeluargaan dan gotong royong.
Politik
pada masa ini diwarnai oleh tolak ukur yang sangat kuat antara ketiga kekuatan
politik yang utama pada waktu itu, yaitu: presiden Soekarno, Partai
Komunis Indonesia, dan Angkatan Darat. Karakteristik yang utama dari
demokrasi terpimpin adalah: menggabungkan sistem kepartaian, dengan
terbentuknya DPR-GR peranan lembaga legislatif dalam sistem politik
nasionall menjadi sedemikian lemah, Basic Human Right menjadi
sangat lemah, masa demokrasi terpimpin adalah masa puncak dari semnagt anti
kebebasan pers, sentralisasi kekuasaan semakin dominan dalam proses hubungan
antara pemerintah pusat dengan pemerintah daerah.
Pandangan A. Syafi’i Ma’arif, demokrasi
terpimpin sebenarnya ingin menempatkan Soekarno seagai “Ayah” dalam famili
besar yang bernama Indonesia dengan kekuasaan terpusat berada di tangannya.
Dengan demikian, kekeliruan yang besar dalam Demokrasi Terpimpin Soekarno
adalah adanya pengingkaran terhadap nilai-nilai demokrasi yaitu absolutisme dan
terpusatnya kekuasaan hanya pada diri pemimpin. Selain itu, tidak ada ruang
kontrol sosial dan check and balance dari legislatif terhadap eksekutif.
(Sunarso, dkk. 2008:132-136)
Perkembangan Demokrasi dalam Pemerintahan Orde
Baru
Wajah demokrasi mengalami pasang surut
sejalan dengan perkembangan tingkat ekonomi, poltik dan, ideologi sesaat atau
temporer. Tahun-tahun awal pemerintahan Orde Baru ditandai oleh adanya
kebebasan politik yang besar. Presiden Soeharto yang menggantikan Ir. Soekarno
sebagai Presiden ke-2 RI dan menerapkan model Demokrasi yang berbeda lagi,
yaitu dinamakan Demokrasi Pancasila (Orba), untuk menegaskan klaim bahwasanya
model demokrasi inilah yang sesungguhnya sesuai dengan ideologi negara
Pancasila. Dalam masa yang tidak lebih dari tiga tahun ini, kekuasaan
seolah-olah akan didistribusikan kepada kekuatan masyarakatan. Oleh karena itu
pada kalangan elit perkotaan dan organisasi sosial politik yang siap menyambut
pemilu 1971, tumbuh gairah besar untuk berpartisipasi mendukung program-program
pembaruan pemerintahan baru.
Perkembangan yang terlihat adalah
semakin lebarnya kesenjangan antara kekuasaan negara dengan masyarakat. Negara
Orde Baru mewujudkan dirinya sebagai kekuatan yang kuat dan relatif otonom, dan
sementara masyarakat semakin teralienasi dari lingkungan kekuasaan danproses
formulasi kebijakan. Kedaan ini adalah dampak dari (1) kemenangan mutlak dari
kemenangan Golkar dalam pemilu yang memberi legitimasi politik yangkuat kepada
negara; (2) dijalankannya regulasi-regulasi politik semacam birokratisasai,
depolitisasai, dan institusionalisasi; (3) dipakai pendekatan keamanan; (4)
intervensi negara terhadap perekonomian dan pasar yang memberikan keleluasaan
kepda negara untuk mengakumulasikan modal dan kekuatan ekonomi; (5) tersedianya
sumber biaya pembangunan, baik dari eksploitasi minyak bumi dan gas serta dari
komoditas nonmigas dan pajak domestik, mauppun yang berasal dari bantuan luar
negeri, dan akhirnya (6) sukses negara orde baru dalam menjalankan kebijakan
pemenuhan kebutuhan pokok rakya sehingga menyumbat gejolak masyarakat yang
potensinya muncul karena sebab struktural.
Pemberontakan G-30-S/PKI merupaka titik
kulminasi dari pertarungan atau tarik tambang politik antara Soekarno, Angkatan
Darat, dan Partai Komunisme Indonesia. Ciri-ciri demokrasi pada periode Orde
Lama antara lain presiden sangat mendominasi pemerintahan, terbatasnya peran
partai politik, berkembangnya pengaruh komunis, dan meluasnya peranan ABRI
sebagai unsur sosial politik. Menurut M. Rusli Karim, rezim Orde Baru ditandai
oleh; dominannya peranan ABRI, birokratisasi dan sentralisasi pengambilan
keputusan politik, pembatasan peran dan fungsi partai politik, campur tangan
pemerintah dalam persoalan partai politik dan publik, masa mengambang,
monolitisasi ideologi negara, dan inkorporasi lembaga nonpemerintah. Beberapa
karakteristik pada masa orde baru antara lain: Pertama, rotasi kekuasaan
eksekutif boleh dikatakan hamper ridak pernah terjadi. Kedua, rekruitmen
politik bersifat tertutup. Ketiga, PemilihanUmum. Keempat, pelaksanaan hak
dasar waega Negara. (Rukiyati, dkk. 2008:114-117)
Perkembangan Demokrasi Pada Masa Reformasi
(1998 Sampai Dengan Sekarang).
Sejak runtuhnya Orde Baru yang bersamaan
waktunya dengan lengsernya Presiden Soeharto, maka NKRI memasuki suasana
kehidupan kenegaraan yang baru, sebagai hasil dari kebijakan reformasi yang
dijalankan terhadap hampir semua aspek kehidupan masyarakat dan negara yang
berlaku sebelumnya. Kebijakan reformasi ini berpuncak dengan di amandemennya
UUD 1945 (bagian Batangtubuhnya) karena dianggap sebagai sumber utama kegagalan
tataan kehidupan kenegaraan di era Orde Baru.
Amandemen
UUD 1945, terutama yang berkaitan dengan kelembagaan negara, khususnya laginya
perubahan terhadap aspek pembagian kekuasaan dan aspek sifat hubungan antar
lembaga-lembaga negaranya, dengan sendirinya mengakibatkan terjadinya perubahan
terhadap model demokrasi yang dilaksana-kan dibandingkan dengan model Demokrasi
Pancasila di era Orde Baru. Dalam masa pemerintahan Habibie inilah muncul beberapa
indicator kedemokrasian di Indonesia. Pertama, diberikannya ruang kebebasan
pers sebagai ruang publik untuk berpartisipasi dalam kebangsaan dan kenegaraan.
Kedua, diberlakunya system multi partai dalam pemilu tahun 1999.
Demokrasi yang diterapkan Negara kita
pada era reformasi ini adalah demokresi Pancasila, tentu saja dengan
karakteristik tang berbeda dengan orde baru dan sedikit mirip dengan demokrasi
perlementer tahun 1950-1959. Pertama, Pemilu yang dilaksanakan (1999-2004) jauh
lebih demokratis dari yang sebelumnya. Kedua, ritasi kekuasaan dilaksanakan
dari mulai pemerintahan pusat sampi pada tingkat desa. Ketiga, pola rekruitmen
politik untuk pengisian jabatan politik dilakukan secara terbuka. Keempat,
sebagian besar hak dasar bisa terjamin seperti adanya kebebasan menyatakan
pendapat
https://tifiacerdikia.wordpress.com/lecture/lecture-1/ilmu-kewarganegaraan/perkembangan-demokrasi-di-indonesia/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar